4 Mar 2019

LEBIH DEKAT DENGAN ANGKA KEMISKINAN BPS


Kemiskinan merupakan masalah yang dimiliki oleh hampir setiap negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Sehingga data tentang kemiskinan sangat menarik untuk dibahas dan diulas oleh penduduk Indonesia, dari mulai para pengambil keputusan sampai dengan masyarakat umum, hal ini terbukti dari setiap kali data kemiskinan rilis, maka media nasional maupun media sosial menjadi ramai memperbincangkan tentang data ini. Di Indonesia,  Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki tugas untuk menghitung banyaknya penduduk miskin. Banyaknya penduduk miskin secara makro dirilis oleh BPS dua kali setiap tahunnya, yaitu kondisi kemiskinan pada bulan Maret dan September. Namun sayangnya, data yang begitu strategis ini sering memicu perdebatan pada masyarakat awam, karena mungkin adanya mispersepsi tentang data kemiskinan terutama data Garis Kemiskinan dan Jumlah penduduk miskin yang disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang makna sebenarnya dari angka kemiskinan tersebut.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai apa itu angka kemiskinan, perlu untuk diketahui arti dari kemiskinan itu sendiri. Menurut Bank Dunia (2004) “Kemiskinan adalah kelaparan. Kemiskinan adalah tidak adanya tempat tinggal. Kemiskinan adalah sakit dan tidak mampu untuk pergi ke dokter. Kemiskinan adalah tidak memiliki akses untuk bersekolah dan tidak bisa membaca. Kemiskinan adalah tidak memiliki pekerjaan, takut akan masa depan, hanya hidup satu hari untuk satu waktu. Kemiskinan adalah kehilangan anak yang karena sakit yang disebabkan oleh air yang tidak bersih. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, kurangnya keterwakilan dan kebebasan”. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang sangat kompleks sehingga data kemiskinan yang akurat dan aktual sangat diperlukan untuk evaluasi pemerintah mengenai keberhasilan program pengentasan kemiskinan yang selama ini telah dilakukan dengan menggunakan APBN yang tentunya tidak sedikit yaitu pada tahun 2018 misalnya, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 292 Triliun untuk menanggulangi kemiskinan yang meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 228.2 Triliun.

Untuk mengukur kemiskinan yang begitu kompleks dan kualitatif, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. BPS mengukur kemiskinan dari sisi ekonomi, karena pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling memungkinkan saat ini untuk digunakan, selain itu sebagian besar negara-negara di dunia juga menggunakan metode yang sama untuk mengukur kemiskinan. Setiap tahun, BPS merilis jumlah penduduk miskin, Garis Kemiskinan (GK), ketimpangan, dsb. Angka-angka ini merupakan angka kemiskinan secara makro dan merupakan hasil estimasi yang di dapatkan dari hasil pengolahan survei sosial ekonomi nasional (Susenas).

Sekarang mari kita telaah dan pahami lebih lanjut makna dari Angka Kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS ini. Pertama untuk digaris bawahi Angka Kemiskinan yang dihasilkan oleh BPS adalah hasil estimasi, etimasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai “perkiraan”, namun tentu saja bukan sembarang perkiraan melainkan perkiraan menggunakan dasar dan ilmu statistik, perkiraan ini didapatkan dari hasil olah data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Susenas dilakukan dua kali setiap tahunnya yakni pada bulan maret dan september. Susenas dilaksanakan di semua kabupaten di wilayah NKRI tanpa terkecuali, dari sabang sampai marauke. Petugas pencacah turun langsung ke rumah-rumah responden yang terpilih secara acak (random sampling), jadi responden bukan hanya keluarga dari orang-orang BPS, atau orang yang dapat dipilih secara seenaknya oleh petugas. Selanjutnya petugas melakukan wawancara secara langsung dengan responden dengan menanyakan ratusan item pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner. Diperlukan rata-rata waktu minimal 2 jam bagi seorang petugas untuk mewawancarai responden susenas. Jawaban responden inilah yang kemudian akan dientri dan diolah lalu kemudian digunakan untuk mengihitung GK (Garis Kemiskinan).

Garis Kemiskinan terdiri dari GK makanan dan GK non makanan, Garis kemiskinan menunjukkan jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin atau secara sederhana penduduk yang pengeluarannya di bawah GK akan dimasukkan ke golongan penduduk miskin. GK setiap Kabupaten dan Kota tentu saja akan berbeda satu dengan yang lain, mengingat setiap kabupaten kota memiliki harga bahan pokok makanan dan non makanan yang berbeda-beda sehingga uang yang dibutuhkan untuk memenuhi kenutuhan dasar makanan dan non makanan juga akan menjadi berbeda di setiap kabupaten dan kota yang ada di seluruh NKRI. Hal inilah yang sering memicu perdebatan di masyarakat umum, misalnya saja ketika BPS merilis Jumlah penduduk miskin dan GK kondisi Sepember 2017 tanggal 2  Januari 2018 kemarin, diketahui bahwa GK secara nasional atau GK Indonesia sebesar  Rp387.160,- per kapita. Arti dari kata “kapita” disini adalah per orang, jadi jika dalam satu rumah tangga terdapat 5 orang maka rumah tangga tersebut dikatakan miskin jika pengeluarannya kurang dari Rp1.935.800,- setiap bulannya. Banyak masyarakat yang melupakan ada kata “kapita” di ujung GK yang dirilis oleh BPS ini, sehingga menimbulkan mispersepsi yang luar biasa yaitu banyak masyarakat yang menyangka bahwa GK Rp387.160 ini untuk satu keluarga atau satu rumah tangga. Selain itu, yang juga harus dipahami angka tersebut merupakan angka nasional atau angka Indonesia yaitu hasil rata-rata dari setiap kabupaten kota yang ada di Indonesia, jadi jika penduduk Jakarta berkata “bisa makan apa dengan uang sebanyak Rp387.160,-  setiap bulannya” tentu saja perkataannya ini menjadi tidak relevan karena untuk Provinsi DKI Jakarta GK nya sebesar Rp578.247,- per kapita.

Setelah GK didapatkan, maka akan dihitung jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia serta di setiap kabupaten kota di Indonesia. Angka ini adalah angka Kemiskinan secara makro, maksudnya angka yang dihasilkan tidak dapat menunjukkan dimana dan siapa penduduk miskin tersebut berada (by name by adress), angka ini hanya dapat  menunjukan berapa banyak penduduk miskin yang ada di Indonesia yang selanjutnya dapat dilihat apakah kemiskinan di Indonesia semakin menurun atau malah sebaliknya semakin meningkat, dari sini dapat terlihat apakah program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan pemerintah sudah berhasil atau malah gagal. Untuk kondisi September 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen), berkurang sebesar 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 yang sebesar 27,77 juta orang (10,64 persen). Perlu untuk dicatat, berkurang bukan berarti penduduk miskin di Indonesia telah habis, masalah kemiskinan sudah tuntas, atau pemerintah bisa berleha-leha, karena masih terdapat 26,58 juta orang yang berada di bawah garis kemiskinan yang perlu untuk diperhatikan dan diangkat derajat hidup dan kesejahteraannya.

Untuk kondisi Kota Pontianak sendiri, menurut BPS pada tahun 2016 garis kemiskinan Kota Pontianak pada tahun 2016 sebesar Rp427.783; perkapita perbulan artinya setiap orang/individu jika memiliki pendapatan di bawah Rp427.783 per bulannya maka akan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sedangkan pada tahun 2017, garis kemiskinan Kota Pontianak meningkat menjadi sebesar Rp439.648; perkapita perbulan artinya setiap orang/individu jika memiliki pendapatan di bawah Rp439.648 perbulannya maka akan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Untuk lebih jelasnya, mari kita menggunakan contoh. Misalnya, dalam satu keluarga terdapat 5 orang anggota keluarga, seorang ayah sebagai kepala keluarga dan satu-satunya anggota keluarga yang bekerja, seoarang ibu yang sehari-harinya merupakan ibu rumah tangga, 2 orang anaknya yang sudah berusia sekolah serta satu orang bayi. Pada tahun 2017 keluarga ini akan dikategorikan sebagai keluarga miskin, apabila pendapatan sang ayah sebagai tulang punggung keluarga tersebut di bawah (5x Rp439.648) yaitu sebesar Rp2.198.240, inilah makna perkapita yang dimaksud dalam garis kemiskinan. Semua anggota keluarga dihitung sama rata, baik ayah, ibu, anak, maupun bayi sekalipun harus memiliki pendapatan minimal Rp439.648 agar tidak dikategorikn sebagai penduduk miskin. Dalam keluarga tadi, jika pendapatan sang ayah hanya 2 juta perbulannya maka semua aggota keluarga tersebut yaitu sebanyak lima orang akan dikategorikan sebagai penduduk miskin.

Masih menurut BPS, pada tahun 2016 terdapat 5,55 persen penduduk miskin di Kota Pontianak atau sebanyak 34.130 jiwa penduduk Kota Pontianak  masih hidup di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2017 jumlah penduduk miskin di Kota Pontianak mengalami penurunan, yaitu terdapat 5,31 persen penduduk Kota Pontianak yang tergolong miskin atau sebanyak 33.180 jiwa penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Penurunan angka kemiskinan tentu saja merupakan hal yang baik dan harus disambut positif oleh kita semua. Karena artinya, sudah ada perbaikan kualitas hidup di Kota Pontianak. Hal ini tentu saja tidak membuat kita lantas menjadi puas dan tidak melakukan apa-apa. Hal kecil yang dapat dilakukan untuk membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan salah satunya adalah memberikan data yang sebenarnya ketika tenyata diri kita menjadi sampel terpilih dalam survey maupun sensus yang dilakukan oleh BPS, sehingga data yang dihasilkan oleh BPS adalah data yang makin dapat dipercaya dan dapat dijadikan landasan yang kuat bagi pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya dalam mengambil keputusan serta menetapkan kebijakan demi Pontianak yang lebih baik.

keyword : per kapita = per orang