6 Jun 2018

BEKERJA DI BPS (BADAN PUSAT STATISTIK)


Sebenernya merasa kurang pantes untuk menceritakan hal ini, karena saya baru kerja di BPS belum genap 2 tahun. Tapi, melihat sentimentalnya masyarakat terhadap data BPS. I think, I should do something. Dan yang paling gampang yaa nulis di blog sendiri.

Sebagai pembukaan, untuk diketahui, BPS adalah Badan Pusat Statistik, singkatnya tugas BPS ini untuk menghitung indikitator-indikator ekonomi, sosial, dll di Indonesia yang secara umum digunakan untuk evaluasi kinerja yang telah dilakukan oleh pemerintah. Gimana caranya BPS menghitung ini? Dengan melaksanakan berbagai macam survei dan sensus. Jadi, kalo ada yang bilang BPS kerjanya 10 tahun sekali (Cuma ketika sensus saja). Waah, salah besar. Untuk gambaran, ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh BPS di tahun 2018.

Jika ditotal, selama tahun 2018 ini terdapat 695 kegiatan yang dilaksanakan di setiap BPS kabupaten/kota. Bisa dibayangkan beban kerja yang harus ditanggung oleh setiap pegawai BPS kabupaten/kota. Untuk dicatat, di kantor saya sendiri dengan beban kerja seperti itu, hanya terdapat total 22 pegawai organik di kantor. Untuk ukuran BPS, kantor saya ini tergolong memiliki pegawai yag cukup karena di setiap kecamatan posisi KSK (Kepala Seksi Kecamatan) terisi. Banyak kantor di daerah lain, terutama dengan jumlah kecamatan yang puluhan, posisi KSK ini kosong, sehingga terpaksa beberapa orang harus rela memegang dua kecamatan atau bahkan tiga kecamatan sekaligus.
Kegiatan di BPS, terutama di BPS kabupaten/kota sangat erat dengan kegiatan lapangan (survei dan sensus). Yang menjadi target survei atau sensus itu banyak, dari mulai anggota rumah tangga (individu), rumah tangga, perusahaan, instansi-instansi pemerintahan, usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, sawah, dll. BANYAK. Kalau harus disebutkan satu-persatu, insyaAllaah saya yang akan lelah :”).

Kegiatan lapangan ini seperti apasih? Pada umumnya, kegiatan lapangan itu kami akan MENDATANGI responden ke tempatnya lalu melakukan wawancara secara langsung. Untuk menghitung angka kemiskinan misalnya yang selama ini setiap angkanya dirilis selalu menimbulkan perdebatan dan nyinyiran netijen, kami harus melakukan wawancara secara langsung (door to door) ke rumah-rumah responden menggunakan kuesioner yang tebalnya masyaAllaah, untuk mewawancarai satu responden dibutuhkan waktu minimal 2 jam.  Respondennya pun kami tidak bisa memilihi seperti yang selama ini banyak diprasangka oleh netijen. Kami mendapatkan alokasi responden dari BPS pusat, dan kami tidak punya hak untuk mengganti sampel, karena sampel itu sendiri diambil menggunakan metode penarikan sampel yang sudah dipikirkan matang-matang agar hasilnya dapat mewakili populasi.

Banyak tantangan dan rintangan yang harus dilalui oleh para petugas untuk sekedar mengisi kuesioner-kuesioner yang hasilnya selama ini selalu dipandang sebelah mata. Misalnya penolakan dari responden itu sendiri, hal ini SANGAT SERING terjadi. Walaupun kami sudah memperkenalkan diri, membawa surat tugas, dan menjelaskan tujuan wawancara, MASIH SANGAT BANYAK masyarakat yang SEACARA TERANG-TERANGAN MENOLAK UNTUK DIWAWANCARAI, bahkan ada yang bersikap KASAR kepada petugas, dari mulai mengusir petugas, memarahi petugas, sampai mencaci-maki petugas. Hal ini baru dari sisi penerimaan responden, belum lagi jika akhirnya dengan terpaksa responden menerima untuk diwawancara, tidak sedikit responden yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan asal-asalan. Kalau sudah seperti ini, bagaimana data yang dihasilkan BPS dapat benar-benar mewakili populasi?

Selain dari sisi penerimaan responden,ada lagi rintangan yang harus dilalui para petugas yaitu medan di lapangan. Nggak pantes rasanya saya mengeluh karena saya dari awal penempatan di BPS kota, jadi bisa dibilang akses untuk ke tempat survei  terbilang mudah. Namun untuk dicatat, kantor BPS terdapat di seluruh kabupaten di Indonesia, dari sabang sampai marauke, dari Aceh sampai Papua. Teman-teman saya yang penempatan di daerah-daerah yang jauh dari ibukota harus melewati berbagai macam medan dengan nyawa sebagai taruhannya, dari mulai jalan hancur yang hampir mustahil untuk dilewati, harus naik speed boat berjam-jam, bahkan harus naik pesawat kecil yang disewa agar bisa sampai ke tempat tujuan survei. Mereka juga harus menginap berhari-hari di sana, sampai kegiatan survei selesai dilaksanakan, dengan fasilitas yang sangat minim (beberapa daerah bahkan tidak ada sinyal) sehingga mereka harus rela hilang dari peradaban untuk sementara dan tidak bisa bertukar kabar dengan sanak keluarga. Semuanya dilalui oleh mereka, agar data yang dihasilkan benar dari mulut responden.  Banyak hal yang harus dilalui pegawai BPS ketika mengumpulkan data, ketika mengumpulkan data di sawah misalnya untuk menghitung produksi beras, ada pegawai yang terkena gigitan ular, ada juga yang harus mengalami hal ini : http://berau.prokal.co/read/news/47994-kapal-tenggelam-dihantam-ombak-puluhan-data-sakernas-ikut-lenyap.html

Memang, semua pekerjaan mempunyai resikonya sendiri, menjadi pegawai BPS juga bukan pekerjaan tersulit pastinya, masih banyak pekerjaan-pekerjaan lain yang benar-benar harus mempetaruhkan jiwa dan raga. Namun, saya menulis ini, hanya agar usaha yang telah kami lakukan tidak ditiadakan, kami tidak meminta agar gaji kami dinaikkan, atau agar pekerjaan kami dikurangi, kami hanya ingin, apa yang telah kami lakukan setidaknya sedikit dihargai. Kami akui, BPS masih banyak kekurangan, BPS juga terus berupaya untuk memperbaiki diri agar semakin lama semakin baik dan data yang dihasilkan juga semakin bagus. Banyak metode-metode baru yang dicoba, banyak juga metode-metode baru yang sedang dikembangkan dengan harapan data yang dihasilkan terus dan terus membaik. Tentu saja, hal ini bisa terwujud jika semua pihak dapat mendukung kinerja BPS. Dari mulai hal yang paling simpel, jika ada petugas kami yang datang, agar diterima dengan baik, menjawab pertanyaan dengan jujur dan apa adanya. Demi data Indonesia yang lebih baik J.