Sebenernya merasa kurang pantes untuk menceritakan hal ini,
karena saya baru kerja di BPS belum genap 2 tahun. Tapi, melihat sentimentalnya
masyarakat terhadap data BPS. I think, I should do something. Dan yang paling gampang
yaa nulis di blog sendiri.
Sebagai pembukaan, untuk diketahui, BPS adalah Badan Pusat
Statistik, singkatnya tugas BPS ini untuk menghitung indikitator-indikator
ekonomi, sosial, dll di Indonesia yang secara umum digunakan untuk evaluasi
kinerja yang telah dilakukan oleh pemerintah. Gimana caranya BPS menghitung
ini? Dengan melaksanakan berbagai macam survei dan sensus. Jadi, kalo ada yang
bilang BPS kerjanya 10 tahun sekali (Cuma ketika sensus saja). Waah, salah
besar. Untuk gambaran, ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh BPS di tahun
2018.
Jika ditotal, selama tahun 2018 ini terdapat 695 kegiatan
yang dilaksanakan di setiap BPS kabupaten/kota. Bisa dibayangkan beban kerja
yang harus ditanggung oleh setiap pegawai BPS kabupaten/kota. Untuk dicatat, di
kantor saya sendiri dengan beban kerja seperti itu, hanya terdapat total 22
pegawai organik di kantor. Untuk ukuran BPS, kantor saya ini tergolong memiliki
pegawai yag cukup karena di setiap kecamatan posisi KSK (Kepala Seksi
Kecamatan) terisi. Banyak kantor di daerah lain, terutama dengan jumlah
kecamatan yang puluhan, posisi KSK ini kosong, sehingga terpaksa beberapa orang
harus rela memegang dua kecamatan atau bahkan tiga kecamatan sekaligus.
Kegiatan di BPS, terutama di BPS kabupaten/kota sangat erat
dengan kegiatan lapangan (survei dan sensus). Yang menjadi target survei atau
sensus itu banyak, dari mulai anggota rumah tangga (individu), rumah tangga,
perusahaan, instansi-instansi pemerintahan, usaha mikro, usaha kecil, usaha
menengah, sawah, dll. BANYAK. Kalau harus disebutkan satu-persatu, insyaAllaah
saya yang akan lelah :”).
Kegiatan lapangan ini seperti apasih? Pada umumnya, kegiatan
lapangan itu kami akan MENDATANGI responden ke tempatnya lalu melakukan
wawancara secara langsung. Untuk menghitung angka kemiskinan misalnya yang
selama ini setiap angkanya dirilis selalu menimbulkan perdebatan dan nyinyiran
netijen, kami harus melakukan wawancara secara langsung (door to door) ke rumah-rumah responden menggunakan kuesioner yang
tebalnya masyaAllaah, untuk mewawancarai satu responden dibutuhkan waktu
minimal 2 jam. Respondennya pun kami
tidak bisa memilihi seperti yang selama ini banyak diprasangka oleh netijen. Kami
mendapatkan alokasi responden dari BPS pusat, dan kami tidak punya hak untuk
mengganti sampel, karena sampel itu sendiri diambil menggunakan metode
penarikan sampel yang sudah dipikirkan matang-matang agar hasilnya dapat
mewakili populasi.
Banyak tantangan dan rintangan yang harus dilalui oleh para
petugas untuk sekedar mengisi kuesioner-kuesioner yang hasilnya selama ini selalu
dipandang sebelah mata. Misalnya penolakan dari responden itu sendiri, hal ini
SANGAT SERING terjadi. Walaupun kami sudah memperkenalkan diri, membawa surat
tugas, dan menjelaskan tujuan wawancara, MASIH SANGAT BANYAK masyarakat yang SEACARA
TERANG-TERANGAN MENOLAK UNTUK DIWAWANCARAI, bahkan ada yang bersikap KASAR
kepada petugas, dari mulai mengusir petugas, memarahi petugas, sampai
mencaci-maki petugas. Hal ini baru dari sisi penerimaan responden, belum lagi
jika akhirnya dengan terpaksa responden menerima untuk diwawancara, tidak
sedikit responden yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan
asal-asalan. Kalau sudah seperti ini, bagaimana data yang dihasilkan BPS dapat
benar-benar mewakili populasi?
Selain dari sisi penerimaan responden,ada lagi rintangan
yang harus dilalui para petugas yaitu medan di lapangan. Nggak pantes rasanya
saya mengeluh karena saya dari awal penempatan di BPS kota, jadi bisa dibilang
akses untuk ke tempat survei terbilang
mudah. Namun untuk dicatat, kantor BPS terdapat di seluruh kabupaten di
Indonesia, dari sabang sampai marauke, dari Aceh sampai Papua. Teman-teman saya
yang penempatan di daerah-daerah yang jauh dari ibukota harus melewati berbagai
macam medan dengan nyawa sebagai taruhannya, dari mulai jalan hancur yang hampir
mustahil untuk dilewati, harus naik speed boat berjam-jam, bahkan harus naik
pesawat kecil yang disewa agar bisa sampai ke tempat tujuan survei. Mereka juga
harus menginap berhari-hari di sana, sampai kegiatan survei selesai
dilaksanakan, dengan fasilitas yang sangat minim (beberapa daerah bahkan tidak
ada sinyal) sehingga mereka harus rela hilang dari peradaban untuk sementara
dan tidak bisa bertukar kabar dengan sanak keluarga. Semuanya dilalui oleh
mereka, agar data yang dihasilkan benar dari mulut responden. Banyak hal yang harus dilalui pegawai BPS
ketika mengumpulkan data, ketika mengumpulkan data di sawah misalnya untuk
menghitung produksi beras, ada pegawai yang terkena gigitan ular, ada juga yang
harus mengalami hal ini : http://berau.prokal.co/read/news/47994-kapal-tenggelam-dihantam-ombak-puluhan-data-sakernas-ikut-lenyap.html
Memang, semua pekerjaan mempunyai resikonya sendiri, menjadi
pegawai BPS juga bukan pekerjaan tersulit pastinya, masih banyak
pekerjaan-pekerjaan lain yang benar-benar harus mempetaruhkan jiwa dan raga. Namun,
saya menulis ini, hanya agar usaha yang telah kami lakukan tidak ditiadakan,
kami tidak meminta agar gaji kami dinaikkan, atau agar pekerjaan kami
dikurangi, kami hanya ingin, apa yang telah kami lakukan setidaknya sedikit dihargai.
Kami akui, BPS masih banyak kekurangan, BPS juga terus berupaya untuk
memperbaiki diri agar semakin lama semakin baik dan data yang dihasilkan juga
semakin bagus. Banyak metode-metode baru yang dicoba, banyak juga metode-metode
baru yang sedang dikembangkan dengan harapan data yang dihasilkan terus dan
terus membaik. Tentu saja, hal ini bisa terwujud jika semua pihak dapat
mendukung kinerja BPS. Dari mulai hal yang paling simpel, jika ada petugas kami
yang datang, agar diterima dengan baik, menjawab pertanyaan dengan jujur dan
apa adanya. Demi data Indonesia yang lebih baik J.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar