Kemiskinan merupakan masalah yang dimiliki oleh hampir setiap negara di
dunia, tidak terkecuali Indonesia. Sehingga data tentang kemiskinan sangat
menarik untuk dibahas dan diulas oleh penduduk Indonesia, dari mulai para
pengambil keputusan sampai dengan masyarakat umum, hal ini terbukti dari setiap
kali data kemiskinan rilis, maka media nasional maupun media sosial menjadi
ramai memperbincangkan tentang data ini. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki tugas
untuk menghitung banyaknya penduduk miskin. Banyaknya penduduk miskin secara
makro dirilis oleh BPS dua kali setiap tahunnya, yaitu kondisi kemiskinan pada
bulan Maret dan September. Namun sayangnya, data yang begitu strategis ini
sering memicu perdebatan pada masyarakat awam, karena mungkin adanya
mispersepsi tentang data kemiskinan terutama data Garis Kemiskinan dan Jumlah
penduduk miskin yang disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang makna
sebenarnya dari angka kemiskinan tersebut.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai apa itu angka kemiskinan, perlu
untuk diketahui arti dari kemiskinan itu sendiri. Menurut Bank Dunia (2004) “Kemiskinan
adalah kelaparan. Kemiskinan adalah tidak adanya tempat tinggal. Kemiskinan
adalah sakit dan tidak mampu untuk pergi ke dokter. Kemiskinan adalah tidak
memiliki akses untuk bersekolah dan tidak bisa membaca. Kemiskinan adalah tidak
memiliki pekerjaan, takut akan masa depan, hanya hidup satu hari untuk satu
waktu. Kemiskinan adalah kehilangan anak yang karena sakit yang disebabkan oleh
air yang tidak bersih. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, kurangnya
keterwakilan dan kebebasan”. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa kemiskinan
merupakan masalah multidimensional yang sangat kompleks sehingga data
kemiskinan yang akurat dan aktual sangat diperlukan untuk evaluasi pemerintah
mengenai keberhasilan program pengentasan kemiskinan yang selama ini telah
dilakukan dengan menggunakan APBN yang tentunya tidak sedikit yaitu pada tahun
2018 misalnya, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 292 Triliun untuk
menanggulangi kemiskinan yang meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp
228.2 Triliun.
Untuk mengukur kemiskinan yang begitu kompleks dan kualitatif, BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. BPS mengukur
kemiskinan dari sisi ekonomi, karena pendekatan ini merupakan pendekatan yang
paling memungkinkan saat ini untuk digunakan, selain itu sebagian besar negara-negara
di dunia juga menggunakan metode yang sama untuk mengukur kemiskinan. Setiap
tahun, BPS merilis jumlah penduduk miskin, Garis Kemiskinan (GK), ketimpangan,
dsb. Angka-angka ini merupakan angka kemiskinan secara makro dan merupakan hasil estimasi
yang di dapatkan dari hasil pengolahan survei sosial ekonomi nasional (Susenas).
Sekarang mari kita telaah dan pahami lebih lanjut makna dari Angka
Kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS ini. Pertama untuk digaris bawahi Angka
Kemiskinan yang dihasilkan oleh BPS adalah hasil estimasi, etimasi secara
sederhana dapat dikatakan sebagai “perkiraan”, namun tentu saja bukan sembarang
perkiraan melainkan perkiraan menggunakan dasar dan ilmu statistik, perkiraan
ini didapatkan dari hasil olah data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional).
Susenas dilakukan dua kali setiap tahunnya yakni pada bulan maret dan september.
Susenas dilaksanakan di semua kabupaten di wilayah NKRI tanpa terkecuali, dari
sabang sampai marauke. Petugas pencacah turun langsung ke rumah-rumah responden
yang terpilih secara acak (random sampling), jadi responden bukan hanya
keluarga dari orang-orang BPS, atau orang yang dapat dipilih secara seenaknya
oleh petugas. Selanjutnya petugas melakukan wawancara secara langsung dengan
responden dengan menanyakan ratusan item pertanyaan yang terdapat dalam
kuesioner. Diperlukan rata-rata waktu minimal 2 jam bagi seorang petugas untuk
mewawancarai responden susenas. Jawaban responden inilah yang kemudian akan
dientri dan diolah lalu kemudian digunakan untuk mengihitung GK (Garis
Kemiskinan).
Garis Kemiskinan terdiri dari GK makanan dan GK non makanan, Garis
kemiskinan menunjukkan jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita
per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. Penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran konsumsi per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin atau secara sederhana penduduk yang
pengeluarannya di bawah GK akan dimasukkan ke golongan penduduk miskin. GK
setiap Kabupaten dan Kota tentu saja akan berbeda satu dengan yang lain,
mengingat setiap kabupaten kota memiliki harga bahan pokok makanan dan non
makanan yang berbeda-beda sehingga uang yang dibutuhkan untuk memenuhi
kenutuhan dasar makanan dan non makanan juga akan menjadi berbeda di setiap
kabupaten dan kota yang ada di seluruh NKRI. Hal inilah yang sering memicu
perdebatan di masyarakat umum, misalnya saja ketika BPS merilis Jumlah penduduk
miskin dan GK kondisi Sepember 2017 tanggal 2
Januari 2018 kemarin, diketahui bahwa GK secara nasional atau GK
Indonesia sebesar Rp387.160,- per
kapita. Arti dari kata “kapita” disini adalah per orang, jadi jika dalam satu
rumah tangga terdapat 5 orang maka rumah tangga tersebut dikatakan miskin jika
pengeluarannya kurang dari Rp1.935.800,- setiap bulannya. Banyak masyarakat
yang melupakan ada kata “kapita” di ujung GK yang dirilis oleh BPS ini,
sehingga menimbulkan mispersepsi yang luar biasa yaitu banyak masyarakat yang
menyangka bahwa GK Rp387.160 ini untuk satu keluarga atau satu rumah tangga.
Selain itu, yang juga harus dipahami angka tersebut merupakan angka nasional
atau angka Indonesia yaitu hasil rata-rata dari setiap kabupaten kota yang ada
di Indonesia, jadi jika penduduk Jakarta berkata “bisa makan apa dengan uang
sebanyak Rp387.160,- setiap bulannya”
tentu saja perkataannya ini menjadi tidak relevan karena untuk Provinsi DKI
Jakarta GK nya sebesar Rp578.247,- per kapita.
Setelah GK didapatkan, maka akan dihitung jumlah penduduk miskin yang
ada di Indonesia serta di setiap kabupaten kota di Indonesia. Angka ini adalah
angka Kemiskinan secara makro, maksudnya angka yang dihasilkan tidak dapat
menunjukkan dimana dan siapa penduduk miskin tersebut berada (by name by adress), angka ini hanya
dapat menunjukan berapa banyak penduduk
miskin yang ada di Indonesia yang selanjutnya dapat dilihat apakah kemiskinan
di Indonesia semakin menurun atau malah sebaliknya semakin meningkat, dari sini
dapat terlihat apakah program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan
pemerintah sudah berhasil atau malah gagal. Untuk kondisi September 2017,
jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di
bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen),
berkurang sebesar 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 yang
sebesar 27,77 juta orang (10,64 persen). Perlu untuk dicatat, berkurang bukan
berarti penduduk miskin di Indonesia telah habis, masalah kemiskinan sudah
tuntas, atau pemerintah bisa berleha-leha, karena masih terdapat 26,58 juta
orang yang berada di bawah garis kemiskinan yang perlu untuk diperhatikan dan
diangkat derajat hidup dan kesejahteraannya.
Untuk kondisi Kota Pontianak sendiri, menurut BPS pada tahun 2016 garis
kemiskinan Kota Pontianak pada tahun 2016 sebesar Rp427.783; perkapita perbulan
artinya setiap orang/individu jika memiliki pendapatan di bawah Rp427.783 per
bulannya maka akan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sedangkan pada tahun
2017, garis kemiskinan Kota Pontianak meningkat menjadi sebesar Rp439.648;
perkapita perbulan artinya setiap orang/individu jika memiliki pendapatan di
bawah Rp439.648 perbulannya maka akan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Untuk
lebih jelasnya, mari kita menggunakan contoh. Misalnya, dalam satu keluarga
terdapat 5 orang anggota keluarga, seorang ayah sebagai kepala keluarga dan
satu-satunya anggota keluarga yang bekerja, seoarang ibu yang sehari-harinya
merupakan ibu rumah tangga, 2 orang anaknya yang sudah berusia sekolah serta
satu orang bayi. Pada tahun 2017 keluarga ini akan dikategorikan sebagai
keluarga miskin, apabila pendapatan sang ayah sebagai tulang punggung keluarga
tersebut di bawah (5x Rp439.648) yaitu sebesar Rp2.198.240, inilah makna
perkapita yang dimaksud dalam garis kemiskinan. Semua anggota keluarga dihitung
sama rata, baik ayah, ibu, anak, maupun bayi sekalipun harus memiliki
pendapatan minimal Rp439.648 agar tidak dikategorikn sebagai penduduk miskin.
Dalam keluarga tadi, jika pendapatan sang ayah hanya 2 juta perbulannya maka
semua aggota keluarga tersebut yaitu sebanyak lima orang akan dikategorikan
sebagai penduduk miskin.
Masih menurut BPS, pada tahun 2016 terdapat 5,55 persen penduduk miskin
di Kota Pontianak atau sebanyak 34.130 jiwa penduduk Kota Pontianak masih hidup di bawah garis kemiskinan. Pada
tahun 2017 jumlah penduduk miskin di Kota Pontianak mengalami penurunan, yaitu terdapat
5,31 persen penduduk Kota Pontianak yang tergolong miskin atau sebanyak 33.180
jiwa penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Penurunan angka
kemiskinan tentu saja merupakan hal yang baik dan harus disambut positif oleh
kita semua. Karena artinya, sudah ada perbaikan kualitas hidup di Kota Pontianak.
Hal ini tentu saja tidak membuat kita lantas menjadi puas dan tidak melakukan
apa-apa. Hal kecil yang dapat dilakukan untuk membantu pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan salah satunya adalah memberikan data yang sebenarnya
ketika tenyata diri kita menjadi sampel terpilih dalam survey maupun sensus
yang dilakukan oleh BPS, sehingga data yang dihasilkan oleh BPS adalah data
yang makin dapat dipercaya dan dapat dijadikan landasan yang kuat bagi
pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya dalam mengambil keputusan serta
menetapkan kebijakan demi Pontianak yang lebih baik.
keyword : per kapita = per orang